Kebetulan minggu ini ada teman saya dari California, Amerika Serikat yang datang berkunjung ke Jogja untuk liburan. Kita sudah cukup lama kenal walaupun hanya melalui komunikasi lewat email. Sebenarnya dia sudah lama berada di Indonesi. Dia pertama kali datang ke Indonesia lewat Sumatera dan langsung menuju ke Danau Toba dan menghabiskan waktu cukup lama disana. Bahkan katanya, dia sekarang sudah punya nama Batak yang diberikan oleh seorang temannya. Setelah berkeliling Sumatera dia juga sudah mengunjungi Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat seperti Bogor dan Bandung. Dan sebelum mengunjungi Malang dan Bali, sekarang dia singgah di Jogja selama 2 minggu. Katanya dia ingin mencari tempat yang pas untuk tinggal setelah dia pensiun nanti. Setelah pensiun dia ingin tinggal di Indonesia katanya.
Hari ini saya tidak ada acara sama sekali, sehingga saya mengiyakan ajakan dia untuk jalan-jalan keliling Jogja. Jalan-jalan dalam artinya sebenarnya, jalan kaki dari tempat dia menginap didekat Pura Pakualaman menuju ke area Malioboro.
Obrolan kita diawali tentang pengalaman dia selama di Sumatera Utara. Dia banyak bercerita bahwa temannya yang ada di Toba menceritakan kepada dia bahwa banyak orang islam di Jawa yang sangat intoleran kepada umat beragama lain. Saya harus menjawab bahwa memang kejadian itu ada, tapi tidak semua umat islam seperti itu. Dia sempat terkesan juga bahwa ternyata di Jogja dia bisa menjumpai dengan mudah beberapa gereja besar sama seperti di Sumatera Utara.
Salah satu tempat yang sangat ingin dia kunjungi adalah Museum Benteng Vredeburg. Sudah hampir 2 tahun saya tinggal di Jogja tapi saya belum pernah sama sekali mauk museum ini. Sejak awal berada di gerbang masuk dan loket tiket di museum tersebut, kedatangan saya bersama teman bule Amerika tersebut cukup mengundang perhatian anak-anak sekolah yang kebetulan hari ini banyak mengunjungi Benteng Vredeburg. Teman saya tersebut sepertinya tidak terlalu nyaman dengan pandangan orang-orang dari kejauhan yang terus memperhatikannya.
Tidak berselang lama, kemudian datang beberapa siswa SMA yang menghampiri kami. Mereka lalu mengatakan "Can i take picture with you sir?" dengan nada yang cukup gugup dan terbata-bata. Teman saya sebenarnya tidak keberatan jika harus berfoto bersama mereka. Dia hanya heran kenapa banyak dari orang Indonesia yang ingin berfoto bersama para bule, apa spesialnya para bule tersebut buat mereka? Kejadian ini tidak hanya dia alami selama di Jogja saja, tetapi selama perjalanan dia di Indonesia.
Dia sangat menyayangkan kenapa bangsa Indonesia yang sebesar ini menjadi bangsa yang inferior. Bangsa yang selalu mengagung-agungkan dunia barat sebagai bangsa yang lebih tinggi dari bangsa mereka sendiri.
Hari ini saya tidak ada acara sama sekali, sehingga saya mengiyakan ajakan dia untuk jalan-jalan keliling Jogja. Jalan-jalan dalam artinya sebenarnya, jalan kaki dari tempat dia menginap didekat Pura Pakualaman menuju ke area Malioboro.
Obrolan kita diawali tentang pengalaman dia selama di Sumatera Utara. Dia banyak bercerita bahwa temannya yang ada di Toba menceritakan kepada dia bahwa banyak orang islam di Jawa yang sangat intoleran kepada umat beragama lain. Saya harus menjawab bahwa memang kejadian itu ada, tapi tidak semua umat islam seperti itu. Dia sempat terkesan juga bahwa ternyata di Jogja dia bisa menjumpai dengan mudah beberapa gereja besar sama seperti di Sumatera Utara.
Salah satu tempat yang sangat ingin dia kunjungi adalah Museum Benteng Vredeburg. Sudah hampir 2 tahun saya tinggal di Jogja tapi saya belum pernah sama sekali mauk museum ini. Sejak awal berada di gerbang masuk dan loket tiket di museum tersebut, kedatangan saya bersama teman bule Amerika tersebut cukup mengundang perhatian anak-anak sekolah yang kebetulan hari ini banyak mengunjungi Benteng Vredeburg. Teman saya tersebut sepertinya tidak terlalu nyaman dengan pandangan orang-orang dari kejauhan yang terus memperhatikannya.
Tidak berselang lama, kemudian datang beberapa siswa SMA yang menghampiri kami. Mereka lalu mengatakan "Can i take picture with you sir?" dengan nada yang cukup gugup dan terbata-bata. Teman saya sebenarnya tidak keberatan jika harus berfoto bersama mereka. Dia hanya heran kenapa banyak dari orang Indonesia yang ingin berfoto bersama para bule, apa spesialnya para bule tersebut buat mereka? Kejadian ini tidak hanya dia alami selama di Jogja saja, tetapi selama perjalanan dia di Indonesia.
Dia sangat menyayangkan kenapa bangsa Indonesia yang sebesar ini menjadi bangsa yang inferior. Bangsa yang selalu mengagung-agungkan dunia barat sebagai bangsa yang lebih tinggi dari bangsa mereka sendiri.
0 comments