Cukup lama ibu saya tidak pernah menelepon atau berkirim SMS. Biasanya dia yang paling rajin menanyakan kabar yang sekarang tinggal jauh darinya.
Akhirnya aku punya inisiatif untuk menanyakan kabar dia dengan meneleponnya pagi itu. Awalnya kita hanya ngobrol biasa saja. Mulai dari membicarakan masalah cuaca yang terjadi akhir-akhir ini sampai dengan gosip dan kabarnya para tetangga.
Lalu saya mulai menemukan keanehan ketika saya mulai menanyakan kenapa beberapa hari yang lalu ayah saya menelepon dan mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Ibu tidak mau mengatakan apa sebenarnya yang ingin ayah saya katakan. Tapi karena saya sedikit memaksa, akhirnya dia mau menjawabnya semua diiringi dengan tangisan yang mulai memecah suaranya.
Ibu bilang bahwa rumah kita akan segera disita oleh bank karena ayah saya punya hutang yang kalau ditotal lebih dari 100 juta rupiah. Kabar seperti itu tentu saja sangat membuat saya terkejut dan ikut menangis merasakan apa yang ibu rasakan saat itu. Selama ini aku berpikir bahwa ayah sudah berubah dan telah terbebas dari hutang yang entah uang sebanyak itu larinya kemana saja.
Ini bukan pertama kali rumah mau disita sama bank. Saya masih ingat betul saat saya masih kelas 2 SMA, ada petugas dari bank yang menagih uang kerumah. Petugas tersebut mengatakan bahwa jika utang tersebut tidak segera dilunasi, maka saya sekeluarga harus segera angkat kaki dari rumah yang dibangun dari hasil keringat ibu saya selama bekerja di luar negeri. Pada saat itu yang tidak terlalu tau harus berbuat apa. Ibu saya sedang berada di luar negeri untuk bekerja, sementara ayah saya tidak tau dimana keberadaannya. Sudah beberapa bulan lamanya dia menghilang dengan meninggalkan banyak tunggakan hutang yang ditagih orang setiap harinya.
Ibu pernah sangat membenci ayah. Dia bahkan pernah mengusir ayah keluar dari rumah karena memang kelakuannya yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Bukan hanya hobi berhutang, bahkan beberapa kali dia juga bermain api dengan wanita lain. Mungkin sejak saya masih sangat kecil. Saya masih ingat sekali, pada saat saya masih kecil pernah ada seorang wanita yang pernah membelikan saya sepatu saat bersama ayah. Saya masih ingat betul wanita yang dulu bersama ayah itu bukan. Bukan hanya ibu yang pernah membenci ayah, tapi seluruh keluarga besar dari pihak ibu juga pernah membenci. Saya tidak tau kenapa ibu saya masih bisa menerima kembali ayah saya setelah apa yang semua dia lakukan. Apakah ini yang dinamakan cinta?? Aku tak pernah mengerti jenis cinta yang seperti ini. Cinta yang hanya menyakiti salah satu pihak.
Dalam keadaan dewasa seperti sekarang ini pun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat rumah hendak disita. Perasaan bersalah dan mungkin perasaan sangat berdosa jika sampai peristiwa itu harus terjadi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya tidak punya uang sebanyak itu untuk melunasi semua utang.
Maaf bu saya tidak bisa bantu apa-apa :(
Saya sangat malu menjadi anak yang tidak bisa berguna. Tapi sungguh saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi perlu ibu tau, aku sangat sayang ibu.
Akhirnya aku punya inisiatif untuk menanyakan kabar dia dengan meneleponnya pagi itu. Awalnya kita hanya ngobrol biasa saja. Mulai dari membicarakan masalah cuaca yang terjadi akhir-akhir ini sampai dengan gosip dan kabarnya para tetangga.
Lalu saya mulai menemukan keanehan ketika saya mulai menanyakan kenapa beberapa hari yang lalu ayah saya menelepon dan mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Ibu tidak mau mengatakan apa sebenarnya yang ingin ayah saya katakan. Tapi karena saya sedikit memaksa, akhirnya dia mau menjawabnya semua diiringi dengan tangisan yang mulai memecah suaranya.
Ibu bilang bahwa rumah kita akan segera disita oleh bank karena ayah saya punya hutang yang kalau ditotal lebih dari 100 juta rupiah. Kabar seperti itu tentu saja sangat membuat saya terkejut dan ikut menangis merasakan apa yang ibu rasakan saat itu. Selama ini aku berpikir bahwa ayah sudah berubah dan telah terbebas dari hutang yang entah uang sebanyak itu larinya kemana saja.
Ini bukan pertama kali rumah mau disita sama bank. Saya masih ingat betul saat saya masih kelas 2 SMA, ada petugas dari bank yang menagih uang kerumah. Petugas tersebut mengatakan bahwa jika utang tersebut tidak segera dilunasi, maka saya sekeluarga harus segera angkat kaki dari rumah yang dibangun dari hasil keringat ibu saya selama bekerja di luar negeri. Pada saat itu yang tidak terlalu tau harus berbuat apa. Ibu saya sedang berada di luar negeri untuk bekerja, sementara ayah saya tidak tau dimana keberadaannya. Sudah beberapa bulan lamanya dia menghilang dengan meninggalkan banyak tunggakan hutang yang ditagih orang setiap harinya.
Ibu pernah sangat membenci ayah. Dia bahkan pernah mengusir ayah keluar dari rumah karena memang kelakuannya yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Bukan hanya hobi berhutang, bahkan beberapa kali dia juga bermain api dengan wanita lain. Mungkin sejak saya masih sangat kecil. Saya masih ingat sekali, pada saat saya masih kecil pernah ada seorang wanita yang pernah membelikan saya sepatu saat bersama ayah. Saya masih ingat betul wanita yang dulu bersama ayah itu bukan. Bukan hanya ibu yang pernah membenci ayah, tapi seluruh keluarga besar dari pihak ibu juga pernah membenci. Saya tidak tau kenapa ibu saya masih bisa menerima kembali ayah saya setelah apa yang semua dia lakukan. Apakah ini yang dinamakan cinta?? Aku tak pernah mengerti jenis cinta yang seperti ini. Cinta yang hanya menyakiti salah satu pihak.
Dalam keadaan dewasa seperti sekarang ini pun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat rumah hendak disita. Perasaan bersalah dan mungkin perasaan sangat berdosa jika sampai peristiwa itu harus terjadi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya tidak punya uang sebanyak itu untuk melunasi semua utang.
Maaf bu saya tidak bisa bantu apa-apa :(
Saya sangat malu menjadi anak yang tidak bisa berguna. Tapi sungguh saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi perlu ibu tau, aku sangat sayang ibu.
0 comments